Pura Besakih |
Dalam Buku Tuntunan Dasar
Agama Hindu dijelaskan bahwa istilah pura berasal dari kata “pur”
yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti
suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi atau
dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia di sekitarnya
yang dianggap tidak suci (Oka Netra, 1994: 83-84). Istilah Pura
dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Indonesia)
diperkirakan pada zaman Dalem berkuasa di Bali.
Sebelum dikenal istilah Pura,
untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan
atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon”
yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhubungan dengan
Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI (Th. 882 M). Demikian
pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. Menurut
Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di
Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaan Dewa di
Jawa Timur.
Mpu Kuturan adalah tokoh
Hindu yang berasal dari jawa datang ke Bali pada waktu pemerintahan raja
Marakata dan anak Wungsu putra raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali
banyak membawa perubahan-perubahan tata keagamaan. Mpu Kuturan yang mengajarkan
membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan
Rwabhineda di Bali. Beliaulah uang memperbesar Pura Besakih dan
mendirikan palinggih Meru, gedong dan lain-lainnya. Beliau pula yang
mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa adat di Bali. Selain
beliau mengajarkan pembuatan kahyangan secara fisik, juga Beliau
mengajarkan pembuatan secara spiritual misalnya; jenis-jenis upacara,
jenis-jenis pedagingan, palinggih dan sebagainya seperti
diuraikan dalam lontar Dewa Tattwa.
Sebelum dinasti Dalem
pemerintahan di Bali istana raja disebut Kedaton atau Keraton.
Setelah jaman Dalem istana raja disebut “Pura”. Hal ini
disebabkan menurut Negara Kertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di
Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Dalem.
Demikianlah keraton Dalem
di Samprangan disebut Linggrsa pura, keraton Dalem di Gelgel
disebut Suwaca pura, dan Dalem di Klungkung disebut Semara
pura. Setelah Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara pura,
istilah pura mulai dipakai untuk menyebutkan tempat suci pemujaan.
Sedangkan istana raja tidak lagi disebut pura tetapi “puri”. Demikianlah
istana pura menjadi istilah yang baku sampai sekarang untuk menyebutkan
tempat suci atau tempat pemujaan umat Hindu di Indonesia (Wiana, 1985: 8-9).
No comments:
Post a Comment