Sunday 12 April 2015

PURA


Pura Besakih

Dalam Buku Tuntunan Dasar Agama Hindu dijelaskan bahwa istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia di sekitarnya yang dianggap tidak suci (Oka Netra, 1994: 83-84). Istilah Pura dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Indonesia) diperkirakan pada zaman Dalem berkuasa di Bali.
Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhubungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI (Th. 882 M). Demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaan Dewa di Jawa Timur.
Mpu Kuturan adalah tokoh Hindu yang berasal dari jawa datang ke Bali pada waktu pemerintahan raja Marakata dan anak Wungsu putra raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak membawa perubahan-perubahan tata keagamaan. Mpu Kuturan yang mengajarkan membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliaulah uang memperbesar Pura Besakih dan mendirikan palinggih Meru, gedong dan lain-lainnya. Beliau pula yang mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa adat di Bali. Selain beliau mengajarkan pembuatan kahyangan secara fisik, juga Beliau mengajarkan pembuatan secara spiritual misalnya; jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan, palinggih dan sebagainya seperti diuraikan dalam lontar Dewa Tattwa.
Sebelum dinasti Dalem pemerintahan di Bali istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Setelah jaman Dalem istana raja disebut “Pura”. Hal ini disebabkan menurut Negara Kertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Dalem.
Demikianlah keraton Dalem di Samprangan disebut Linggrsa pura, keraton Dalem di Gelgel disebut Suwaca pura, dan Dalem di Klungkung disebut Semara pura. Setelah Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara pura, istilah pura mulai dipakai untuk menyebutkan tempat suci pemujaan. Sedangkan istana raja tidak lagi disebut pura tetapi “puri”. Demikianlah istana pura menjadi istilah yang baku sampai sekarang untuk menyebutkan tempat suci atau tempat pemujaan umat Hindu di Indonesia (Wiana, 1985: 8-9).  

No comments:

Post a Comment