Sunday 12 April 2015

Konsep Upacara Murwakala





Endaraswara, (2005:60) menyatakan “murwakala, secara etimologimurwa” (murba) yakni mengendalikan atau menguasai, dan “kala” (Bhatara Kala). “kala” juga berarti waktu. Menguasi “kala” berarti mampu memanfaatkan waktu dengan sungguh-sungguh”. Dalam upacara “murwakala” dikenal beberapa macam “sukerta” (kotor) yang harus di murwakala atau diupacarai, yaitu jatah makanan Bhatara Kala yang pada hakekatnya ialah mereka yang menjadi objek penderita, yang dengan upacara murwakala, yaitu koreksi total, dikembalikan sebagai subjek pelaku. Pengantian fungsi itu terjadi karena kacaunya struktur dan pandangan nilai atau rusaknya pola konsekuensi, yang berakar pada kesalahan pemahaman atas hakekat waktu, yang ditandai oleh pencarian kemudahan di muka dan kesulitan di belakang, sebagaimana yang di lambangkan oleh “pecahnya” atau kepingan kala, yaitu segala hewan yang berbisa pada ujungnya.

         Pada hakekatnya tujuan uapacara murwakala adalah untuk mendekatkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa guna memperoleh kesejahteraan lahir dan bhatin, serta untuk memperoleh tujuan dari agama Hindu yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma” yaitu bersatunya Atman dengan Brahman sehingga upacara harus didasari rasa tulus ikhlas, sebagai dasar dari pelaksanaan upacara agar tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut dapat tercapai dan terlaksana dengan baik.
         Sudarsana (2005: 57) menyatakan bahwa: “Upacara atau yadnya adalah segala perbuatan kebajikan dari manusia selama hidup di dunia”. Namun menurut pandangan agama Hindu, bahwa kita tidak cukup hanya berbuat kebajikan saja tetapi perlu diwujudnyatakan dalam perbuatan melalui ritual keagamaan sehingga “upakara” dan “upacara” keagamaan yang dilandaskan dengan korban suci berupa bentuk material, karena makhluk di dunia diciptakan, yang di bentuk juga dengan material sehingga kelihatan kehidupan di dunia ini, oleh karena itu bagi umat Hindu berbuat timbal balik dengan membuat upakara dan upacara sebagai persembahan kehadapan Sang Pencipta. Upacara dan upakara memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) sebagai bahawa Weda, 2) sebagai penyucian, 3) sebagai korban suci, 4) sebagai sarana pengampunan, 5) pembangkit kekuatan magis.
         Upacara dan upakara yang dimaksud sebagai bahawa Weda yaitu upakara sebagai bahasa pengantar dalam melaksanakan sebuah bakti kepada Tuhan, dan upacara sebagai sarana penyucian lahir dan bhatin karena upakara memiliki kekuatan religiomagis (kekuatan gaib) untuk memohon dari yang maha suci, upacara dan upakara yang bertujuan sebagai korban suci, yang dimaksud korban suci adalah melaksanakan yadnya dengan hati yang ikhlas dan pelaksanaan yang tulus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, upakara dan upakara sebagai pengampunan dosa karena manusia tidak terlepas dari ikatan kerja yang menghasilkan karma sehingga wajib memohon tuntunan dan ampunan dari segala perbuatannya, dan upakara dan upacara yang berfungsi sebagai sarana pembangkit kekuatan magis karena bahan-bahan yang digunakan berasal dari yang pernah hidup, berarti Ida Hyang Widhi Wasa telah bersemayam dalam upakara, sehingga umat hanya bisa memohon dan berusaha sesuai sradha dan bhakti yang kuat.
            Ngurah (1999: 154) menyatakan bahwa: “Upacara atau yajna dapat di golongkan menjadi lima macam yang disebut Panca Yajna yaitu, Deva Yanja, Manusia Yajna, Bhuta Yajna, Pitra Dan Rsi Yajna”, hampir seluruhnya pada bagian-bagiannya mengandung makna dan tujuan untuk membersihkan, dan menyucikan, disamping sebagai persembahan. Seperti upacara murwakala juga memiliki tujuan yang sama, sradha, kebaktian, ketulusan dan kesucian hati yang menyatu melahirkan kualitas spiritual yang lebih tinggi pada manusia. Begitu pula upacara tidak akan berarti apabila orang yang melaksanakan belum memiliki kesiapan rohani. Untuk itu jasmani yang suci, hati yang suci dan kehidupan yang suci, kehidupan yang sesuai dengan ketentuan moral dan spiritual patut menjadi landasan pelaksanaan yajna.

No comments:

Post a Comment