Endaraswara,
(2005:60) menyatakan “murwakala, secara etimologi “murwa”
(murba) yakni mengendalikan atau menguasai, dan “kala” (Bhatara Kala). “kala”
juga berarti waktu. Menguasi “kala” berarti mampu memanfaatkan waktu
dengan sungguh-sungguh”. Dalam upacara “murwakala” dikenal beberapa
macam “sukerta” (kotor) yang harus di murwakala atau diupacarai,
yaitu jatah makanan Bhatara Kala yang pada hakekatnya ialah mereka yang
menjadi objek penderita, yang dengan upacara murwakala, yaitu koreksi
total, dikembalikan sebagai subjek pelaku. Pengantian fungsi itu terjadi karena
kacaunya struktur dan pandangan nilai atau rusaknya pola konsekuensi, yang
berakar pada kesalahan pemahaman atas hakekat waktu, yang ditandai oleh
pencarian kemudahan di muka dan kesulitan di belakang, sebagaimana yang di lambangkan
oleh “pecahnya” atau kepingan kala, yaitu segala hewan yang berbisa pada
ujungnya.
Pada hakekatnya tujuan uapacara murwakala
adalah untuk mendekatkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau
Tuhan Yang Maha Esa guna memperoleh kesejahteraan lahir dan bhatin, serta untuk
memperoleh tujuan dari agama Hindu yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti
Dharma” yaitu bersatunya Atman dengan Brahman sehingga
upacara harus didasari rasa tulus ikhlas, sebagai dasar dari pelaksanaan
upacara agar tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut dapat tercapai dan
terlaksana dengan baik.
Sudarsana (2005: 57) menyatakan bahwa: “Upacara
atau yadnya adalah segala perbuatan kebajikan dari manusia selama hidup
di dunia”. Namun menurut pandangan agama Hindu, bahwa kita tidak cukup hanya
berbuat kebajikan saja tetapi perlu diwujudnyatakan dalam perbuatan melalui
ritual keagamaan sehingga “upakara” dan “upacara” keagamaan yang
dilandaskan dengan korban suci berupa bentuk material, karena makhluk di dunia
diciptakan, yang di bentuk juga dengan material sehingga kelihatan kehidupan di
dunia ini, oleh karena itu bagi umat Hindu berbuat timbal balik dengan membuat upakara
dan upacara sebagai persembahan kehadapan Sang Pencipta. Upacara
dan upakara memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) sebagai bahawa Weda,
2) sebagai penyucian, 3) sebagai korban suci, 4) sebagai sarana pengampunan, 5)
pembangkit kekuatan magis.
Upacara dan upakara yang
dimaksud sebagai bahawa Weda yaitu upakara sebagai bahasa pengantar
dalam melaksanakan sebuah bakti kepada Tuhan, dan upacara sebagai sarana
penyucian lahir dan bhatin karena upakara memiliki kekuatan religiomagis
(kekuatan gaib) untuk memohon dari yang maha suci, upacara dan upakara
yang bertujuan sebagai korban suci, yang dimaksud korban suci adalah
melaksanakan yadnya dengan hati yang ikhlas dan pelaksanaan yang tulus
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, upakara dan upakara sebagai
pengampunan dosa karena manusia tidak terlepas dari ikatan kerja yang
menghasilkan karma sehingga wajib memohon tuntunan dan ampunan dari segala
perbuatannya, dan upakara dan upacara yang berfungsi sebagai sarana
pembangkit kekuatan magis karena bahan-bahan yang digunakan berasal dari yang
pernah hidup, berarti Ida Hyang Widhi Wasa telah bersemayam dalam
upakara, sehingga umat hanya bisa memohon dan berusaha sesuai sradha
dan bhakti yang kuat.
Ngurah
(1999: 154) menyatakan bahwa: “Upacara atau yajna dapat di golongkan
menjadi lima macam yang disebut Panca Yajna yaitu, Deva Yanja,
Manusia Yajna, Bhuta Yajna, Pitra Dan Rsi Yajna”, hampir seluruhnya pada
bagian-bagiannya mengandung makna dan tujuan untuk membersihkan, dan
menyucikan, disamping sebagai persembahan. Seperti upacara murwakala
juga memiliki tujuan yang sama, sradha, kebaktian, ketulusan dan
kesucian hati yang menyatu melahirkan kualitas spiritual yang lebih tinggi pada
manusia. Begitu pula upacara tidak akan berarti apabila orang yang melaksanakan
belum memiliki kesiapan rohani. Untuk itu jasmani yang suci, hati yang suci dan
kehidupan yang suci, kehidupan yang sesuai dengan ketentuan moral dan spiritual
patut menjadi landasan pelaksanaan yajna.
No comments:
Post a Comment